Dini hari rumah sakit pun di hebohkan oleh dua orang yang saling pukul. Lebih tepatnya satu orang yang memukul, satu lagi yang di pukul. Aktivitas itu terhenti setelah dokter keluar dari ruang operasi.
“Suami dari pasien yang mana?”, ucap sang dokter yang masih lengkap berpakaian pakaian operasi.
Dika dengan bersusah payah berusaha bangun, “Saya, dok.”
“Ayah dan bayi selamat, namun karena bayi anda terlahir prematur, organ-organ bayi anda cenderung belum berkembang sempurna jika dibanding dengan bayi yang lahir normal. Itu sebabnya, bayi anda butuh waktu tambahan untuk mematangkan organ miliknya dan harus di inkubator untuk kita pantau perkembangannya,” ucap dokter.
Hati Dika mencelos mendengar pernyataan dari dokter, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mengikuti perkataan dari dokter yang menangani bayinya.
“Dok, saya boleh melihat anak saya?” tanya Dika.
“Nanti ya, kalau sudah kami mandikan dan kami pindahkan.” jawab dokter dengan senyumannya.
“Baik kalau begitu saya permisi, nanti ayahnya akan segera kami pindahkan ke ruang rawat inap.” setelah itu dokter pergi meninggalkan ruang operasi.
Tidak berselang lama, suster juga keluar dari ruang operasi dengan mendorong box bayi. Semua orang yang berada disana seketika tatapannya tertuju pada bayi itu.
Namun, semua ketenangan itu kemudian sirna. Langkah kaki yang berat dan penuh amarah menuju di antara mereka yang ada di sana. Serta beberapa pasangan mata terkejut akan kedatangan laki-laki bermata sipit itu.
Bahkan Wonu jauh lebih tidak menyangka, mengapa laki-laki itu berani sekali menginjakkan kakinya disini. Laki-laki yang sejak dari dulu ia benci, laki-laki yang sejak dulu menyakitinya serta nyaris menghancurkan kehidupannya.
Entah mengapa tubuh Wonu mulai gemetar dan mulai kehilangan keseimbangannya. Membuat semua orang yang berada disana panik, termasuk suaminya Minggu.
Minggu yang sedari tadi berdiri dihadapan Dika, kini langsung memeluk erat Wonu. Tatapan Minggu sedih melihat belahan jiwanya menjadi dirinya beberapa tahun yang lalu.
Minggu juga menatap laki-laki bermata sipit itu dengan tidak percaya, atau mungkin bisa dibilang terkejut. Banyak hal yang ingin ia tanyakan kepada laki-laki itu. Namun rasanya ini bukanlah waktu yang tepat.
Minggu pun mendudukkan Wonu di kursi tunggu di depan ruang operasi. Hingga, ayah mertua adiknya itu kini mau tak mau buka suara.
“Lihat, berani sekali kamu datang kesini,” cebik Ayah Dika.
“Om, saya mencintai Dika om.” ucap Minghao perlahan.
“Kamu pikir, saya tidak tahu kelakuan kamu selama berpacaran dengan Dika? Anak saya yang satu itu memang terlanjur bodoh, sampai-sampai menyakiti Joshua yang berhati malaikat.” ucapnya tegas.
Minghao yang tak terima mendengar ucapan ayah Dika pun berteriak, “Om! Asal om tau, Joshua pun sama seperti saya!”
“Ya! Ucapan lo di jaga!” itu kembaran Dika.
Sedangkan Dika saat ini, hanya bisa diam seribu bahasa. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya untuk membela suaminya yang kini masih terbaring di ruang operasi.
Minghao kembali menyulut emosi, “Oh ini ternyata orang yang tidur sama suami kembarannya sendiri? Gayanya straight, tapi suami kembarannya di embat juga!”
Apa katanya? Saudara kembarnya tidur dengan Shuya? Ah. Itu tidak mungkin, kan? Shuya-nya pasti tau bagaimana dirinya. Tidak mungkin, Minghao pasti berbohong di depan semua orang.
“Lihat, Dika! Semua orang disini udah bohongin kamu! Cuma aku! Yang gak pernah bohong sama kamu! Bahkan, ayah kamu ini bohong ke kamu!!” teriak Minghao sambil mencengkram kerah kemeja Dika.
Dika yang amarah serta emosi yang sudah mencapai batasnya pun, tanpa berpikir lagi memukul pipi sebelah kanan Minghao.
“Kalo ngomong jangan sembarangan! Semua orang yang ada disini gak pernah melakukan hal kaya gitu, Minghao! Apalagi Joshua! Berhenti kamu untuk fitnah suami saya!”, di dorongnya Minghao hingga ia terjatuh.
“Saya suda bilang bukan? Kalau kita sudah tidak ada hubungan apapun. Jadi lebih baik sekarang kamu pulang. Jangan pernah muncul di hadapan saya, atau keluarga saya lagi!” ucap Dika tegas.
Minghao bangun, kemudian menyeka sudut bibirnya yang sedikit berdarah itu. Lalu, melangkah sedikit mendekati seseorang yang ternyata diam-diam sedang menyimak pembicaraan panas saat itu.
“Bagaimana? Kamu sudah tau kan? Apa yang bisa saya perbuat ke keluarga kamu sekarang,” setelah ucapan itu terlontar dengan remeh, Minghao pun pergi dari tempat itu.
Semua orang disana lagi dan lagi, kembali di kejutkan oleh fakta baru saat ini. Kecuali, Wonu. Tatapan kebenciannya kembali menyala, setelah beberapa tahun yang lalu telah padam.